Rabu, 06 Agustus 2008

Hepatitis A Mewabah di DIY, 129 Warga UGM Menjadi Korban

Penyakit Hepatitis A mewabah di DIY. Tercatat 129 warga UGM menjadi korban penyakit ini, 7 orang tenaga kependidikan dan 122 mahasiswa UGM.

"Data Gadjah Mada Medical Center (GMC) menyebut 97 menjalani rawat inap dan 32 rawat jalan. Tujuh orang merupakan pegawai UGM sisanya mahasiswa. Dari mahasiswa-mahasiswa itu menyebar ke seluruh fakultas, kecuali Fakultas Filsafat dan Teknik Geologi yang hingga kini belum ada laporan," ujar Prof dr Ali Gufron Mukti MSc PhD, Jum'at (1/8) di ruang Multimedia saat Seminar Wabah Hepatitis A di UGM: Permasalahan dan Pencegahannya.

Direktur GMC mengakui, bila angka kejadian hepatitis A meningkat cukup tajam. Tidak hanya di lingkungan UGM saja, namun juga beberapa wilayah di DIY. Sehingga, katanya, angka penderita hepatitis di beberapa Rumah Sakit mengalami peningkatan cukup signifikan.

"UGM sangat concern tentang permasalahan ini, karena sebagai agent of change sangat sadar tentang hal ini, bagaimana kita berupaya penularan-penularan ini agar tidak merembet," tambahnya.

Penyakit ini ditengarai merebak di UGM sejak dua bulan yang lalu (Mei-Juni). Angka tersebut meningkat tajam di bulan Juli.

"Setelah dua bulan yang lalu, kejadianya meningkat tajam. Penderita hepatitis A saat itu terbanyak di fakultas kedokteran Gigi, Kedokteran, Fakultas Teknik bagian barat. Sejak itu kami cepat-cepat bikin surat kepada Dekan-dekan yang memiliki mahasiswa-mahasiswa terkena penyakit hepatitis ini untuk melakukan tindakan warning dan pencegahan-pencegahannya," tukasnya.

Dalam pandangan Pak Gufron, penularan Hepatitis ini terkait terjadinya kontanimansi makanan, tingkat kebersihan yang kurang terjaga, kontaminasi tinja dan lain-lain. Bahkan, katanya, bisa pula bersumber dari para penjual makanan yang kurang bersih dan kurang higienis.

"Mulailah penyelidikan-penyelidikan dilakukan. Sesungguhnya penyakit ini tidak terlalu berbahaya, namun cukup berdampak bagi kerugian secara ekonomi dan produktivitas. Jadi cukup menjaga kehati-hatian saja karena ini sudah mewabah di DIY," ungkap Dekan terpilih FK UGM ini.

Kata Prof Gufron, pencegahan terhadap penyakit ini sesungguhnya tidak terlalu sulit, namun memerlukan partisipasi dari banyak pihak terkait pengolahan, penyediaan dan penjualan makanan.

"GMC berharap agar semua pihak bisa lebih berpartisipasi untuk menjaga kebbersihan. Selain itu, kami telah mengusulkan kepada Dinas Kesehatan untuk melakukan sertifikasi. Sebagai tanda kalau PKL-PKL itu sudah ada pembinaan-pembinaan dan pembimbingan dari Dinas Kesehatan," urainya menjelaskan.

Sementara itu, Wakil Rektor Bidang Alumni dan Pengembangan Usaha Prof Ir Toni Atyanto Dharoko MPhil PhD dihadapan para pedagang dan pengelola Kantin di lingkungan UGM mengajak untuk selalu menjaga kebersihan terkait penataan PKL di UGM. Karena sesuai dengan visi misinya, UGM tidak hanya sekedar mendidik mahasiswa, tapi juga memberikan fasilitas dan menyediakan makanan-makanan yang sehat.

"Penyakit itu memang bisa macam-macam, karena mahasiswa juga bergerak kemana-mana, namun apapun yang terjadi yang perlu diindahkan adalah masalah kebersihan pada makanan-makan yang kita sediakan. Karena bagaimanapun mahasiswa ini nantinya diharapkan akan menjadi pemimpin yang tentunya sehat baik secara phisik maupun rohani," tuturnya saat membuka seminar. (Humas UGM)

sumber: www.ugm.ac.id

Peringkat 74 Webometric, UGM Masih Teratas di Indonesia

Dibanding bulan Januari 2008, peringkat UGM pada Webometric bulan Juli 2008 mengalami sedikit penurunan. Dari peringkat 57 di bulan Januari lalu menjadi 74 dari 100 Perguruan Tinggi unggulan dunia yang berada di Asia.

Meski begitu, hingga saat ini UGM masih tetap yang terbaik di Indonesia. Tercatat dari daftar peringkat, hanya ada 2 PT di Indonesia, yakni UGM (peringkat 74) dan ITB (peringkat 78).

"Sekali lagi, hal ini menunjukkan bahwa publikasi elektronik di situs http://www.ugm.ac.id dinilai yang paling komprehensif dan paling kaya di negeri ini," ujar Drs Suryo Baskoro MS, Jum'at (1/8) di ruang HMK UGM menanggapi Peringkat Webometric yang diperoleh UGM.

Suryo menjelaskan Peringkat Webometric bukan menjadi tujuan yang hendak dicapai, karena UGM saat ini lebih fokus pada pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk mendesiminasikan karya-karya civitas akademikanya dalam rangka turut memberikan solusi atas masalah-masalah yang dihadapi bangsa. Dirinya mengakui bila turunnya peringkat UGM diasumsikan karena perguruan tinggi lain sangat gencar dalam menayangkan karya-karya civitas akademikanya.

"Untuk itu, UGM pun akan senantiasa meningkatkan penayangan karya-karya dosen sehingga tidak hanya dibaca oleh semakin baca orang, namun juga dirujuk oleh para pakar dari perguruan tinggi lain," tambah Kepala HMK UGM ini.

Lebih jauh Suryo menjelaskan, pemeringkatan oleh webometric didasarkan pada keunggulan dalam publikasi elektronik (e-publication) yang terdapat dalam domain web masing-masing perguruan tinggi. Pengukurannya menggunakan 4 indikator: Size (S), yakni jumlah halaman publikasi elektronik yang terdapat dalam domain web PT; Visibility (V), atau jumlah halaman lain yang mencantumkan URL domain PT yang dinilai; Rich Files (RF), yakni relevansi sumber elektronik dengan kegiatan akademik dan publikasi PT tersebut dan Scholar (Sc), yakni jumlah publikasi dan sitasi bermutu pada domain PT.

"Data yang dikumpulkan dengan empat indikator tersebut diolah dan digunakan untuk memeringkat lebih kurang 4000 PT dari seluruh dunia. Daftar peringkat PT dikeluarkan dua kali setiap tahun yakni bulan Januari dan Juli," ungkapnya menjelaskan. (Humas UGM)

sumber: www.ugm.ac.id

Membedah UM-UGM

Yogya, KU

Tahun 2008 ini merupakan tahun keenam penyelenggaran UM-UGM. Tiap tahun, seperti dituturkan Direktur Administrasi Akademik UGM, Dr. Budi Prasetyo Widyobroto, DEA., DESS, penyelenggaraan UM-UGM selalu mengalami perkembangan. Perbaikan demi perbaikan selalu terjadi setiap tahun. "Karena UGM ingin mencari yang optimal, baik kualitas dari inputnya maupun kualitas pelaksanaannya. Sehingga dari tujuan-tujuan UM-UGM yang sudah dicanangkan, baik terkait daya tampung terbatas maupun perhatiannya terhadap kepentingan nasional. Ia tidak hanya mengakomodasi kepentingan lokal saja, namun juga terkait anak-anak berprestasi dan lain-lain," ujar Pak Budi.

UM-UGM dimulai tahun 2003. Tahun berikutnya, kata Pak Budi, UGM sudah merasa bahwa penyelenggaraannya sudah stabil. Maka penyelenggaraannya tidak mengalami perubahan yang berarti. "Sehingga kemudian semua pihak merasa berkepentingan, baik internal UGM, baik melalui Senat Akademik Universitas terkait mutu dari input, maupun eksternal yaitu masyarakat yang selalu mencermati perkembangan UM UGM ini," jelas Pak Budi.

Diakui Pak Budi, tingkat kepercayaan masyarakat menitipkan putra-putrinya di UGM melalui UM-UGM meningkat dari tahun ke tahun, baik dari segi sebaran daerah asal, SMU-SMU berkualitas maupun prestasi. "Dari tahun ke tahun makin meningkat. Itu mulai tahun 2003. Sehingga sampai tahun 2008 ini dari segi yang lain-lain, UGM termasuk yang terbaik di Indonesia. Sehingga makin percaya orangtua-orangtua menyekolahkan putra-putrinya di UGM," aku Pak Budi.

Kualitas lulusan UM-UGM lebih baik

Tentu menjadi tidak fair kalau klaim di atas hanya berasal dari Pak Budi. Apalagi UM-UGM dikatakan jauh lebih baik dari sistim-sistim penjaringan sebelumnya. Maka diperlukan informasi dari pihak lain.

Beruntung ada informasi tentang kualitas mahasiswa UGM yang diterima lewat UM-UGM. Informasi tersebut berasal dari kajian Senat Akademik (SA) UGM tahun 2006. Salah satu hasilnya adalah, mahasiswa UGM yang diterima lewat UM-UGM ternyata memberikan kontribusi terhadap rerata indeks prestasi kumulatif (IPK).

SA UGM saat itu, kata Pak Budi, melakukan klasifikasi berbagai jalur yang ada: jalur Penjaringan Bibit Unggul (PBU), Ujian Tulis dan SPMB (waktu itu). Dari klasifikasikan tersebut, jalur Ujian Tulis memberi kontribusi terhadap rerata indeks prestasi komulatif (IPK) paling baik. "Artinya, prestasi anak-anak yang dijaring melalui Ujian Tulis (Utul UM-UGM) lebih baik prestasinya dibanding PBU dan SPMB. Itu sangat wajar, mengingat paling tidak yang diterima melalui Utul UM-UGM tingkat kompetisinya rata-rata 1:20an," jelas Pak Budi.

Meski 1:20, tingkat kompetisi antar program studi nampaknya cukup bervariasi. Taruhlah di Fakultas Kedokteran (FK) UGM, satu orang diterima maka ia harus menyisihkan 120 calon yang lain. "Di FK bisa jadi 1:120 atau 1:110. Tapi rata-ratanya memang 1:20. Kemudian terbaik kedua dalam memberikan kontribusi IPK adalah Penjaringan Bibit Unggul dan yang paling rendah SPMB," tutur Pak Budi.

Pendapat serupa disampaikan Prof. Dr. Narsito, Ketua Komisi I Bidang Pengembangan Akademik SA UGM. Katanya, mahasiswa UGM hasil penjaringan UM-UGM rata-rata memiliki IPK lebih tinggi dibanding mereka yang berasal dari SPMB. "Rata-rata IPK penjaringan SPMB secara keseluruhan memang lebih rendah. Namun yang menarik justru IP tertinggi diraih dari penjaringan jalur ini," ujar Pak Narsito.

Pak Narsito menyebutkan, data kajian SA UGM terhadap evaluasi jalur masuk UGM berdasar IPK mahasiswa UGM angkatan 2004 menunjukkan Ujian Tulis 3,1, jalur SPMB 2,7, jalur PBUTM 2,9, jalur PBUB 3,17, PBUPD 3,03 dan PBOS 2,80. Data ini memperlihatkan bahwa mahasiswa UGM asal penjaringan UM UGM (Utul, PBUB, PBUD, PBOS) memiliki prestasi IP tinggi. Asumsi ini memperlihatkan jika persaingan di UM-UGM jauh lebih berat daripada SPMB.

Soal UM-UGM memang sulit

Bagi Pak Budi, ujian tulis UM-UGM lebih baik, karena di dalam penjaringannya dikembangkan instrumen evaluasi. Ini yang membedakan UM-UGM dengan Seleksi Penerimaan Mahasiswaan Baru (SPMB). SPMB hanya memprediksi dari sisi prestasi akademik saja. Akibatnya, ia mudah disiasati oleh bimbingan tes atau guru dengan cara menggodog (mempersiapkan) anak-anak dengan berbagai latihan soal disertai materi-materi prediksi. "Itu yang mereka lakukan. Jadi, ada bimbingan tes intensif 4-6 bulan hanya untuk menghadapi itu. Sehingga berbagai soal masih bisa diprediksi. Tapi kalau Ujian Tulis UM-UGM itu kan lain. Karena, selain aspek akademik (seperti SPMB), kita masih punya satu prediksi dengan tes TPA (semacam tes psikologi). Tes ini bisa dipakai untuk memprediksi bagaimana kuantitatif/kualitatif, bagaimana verbalnya untuk memprediksi apakah yang bersangkutan peserta tes itu mampu menyelesaikan studi di tingkat Perguruan Tinggi. Itu plusnya Utul," lanjut Pak Budi menjelaskan.

Soal TPA ujian tulis UM-UGM memang dibuat sedemikian rupa sehingga ia tidak bisa diprediksi oleh bimbingan tes atau guru. Muatan isinya tidak memungkinkan pesertanya mempersiapkan diri lebih dulu.

Pak Budi mengakui, salah satu faktor yang mendongkrak kualitas penjaringan Utul UM UGM terkait soal yang dibuat sangat sulit. Sebagai instrumen seleksi, soal Ujian tulis UM-UGM dan UNAS berbeda. "Tidak seperti UNAS. UNAS itu kan seperti grade, grade seperti ini berarti dia lulus. Sementara kalau Utul ini kan instrumen seleksi. Jadi, memang dibuat sulit. Kalau soal tidak sulit, bayangkan saja yang masuk Fakultas Kedokteran UGM. Biasanya yang mendaftar hampir 11.000. Padahal UGM hanya mengambil seratus orang. bagaimana UGM bisa menyeleksi kalau soalnya dibuat tidak sulit?" paparnya. (Wawancara dan penulisan: Agung; Editing: Abrar)

( )

sumber: www.ugm.ac.id

UGM Raih Perunggu di Ajang Olimpiade Matematika Internasional

Yogya,KU

UGM kembali menorehkan prestasi gemilang di tingkat internasional. Tiga mahasiswa Fakultas Matematikan dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) berhasil menyabet medali perunggu di dua ajang berbeda di Olimpiade Matematika tingkat internasional di Iran dan Bulgaria. Salah satunya, Albert Gunawan (20), berhasil meraih perunggu (third prize) pada ajang 15th International Mathematics Competition for University Students (IMC) di Blagoevgrad, Bulgaria, 25 - 31 Juli 2008. Di ajang ini, Indonesia mengirimkan 4 peserta dari beberapa universitas yang lolos seleksi nasional dan hanya Albert yang pulang dengan hasil bagus.

“Meskipun mendapat third prize, prestasi ini patut membuat kita bangga. Setidaknya UGM berhasil mempertahankan posisi yang diraihnya tahun lalu,” ujar Prof Dr Widodo MS, ketua jurusan Matematika FMIPA UGM di sela-sela mendampingi para pemenang saat bincang-bincang dengan wartawan, Rabu (6/8) di Ruang Fortakgama UGM.

Selain Albert, ungkap Widodo, dua mahasiswa FMIPA UGM lainnya, Nugroho Seto Saputra (19) dan Andy Hermawan (22) juga meraih perunggu pada Int'l Scientific Olympiad on Mathematics (ISOM) di Teheran, Iran, 15 - 18 Juli 2008.

“Di Iran, Indonesia diperkuat 5 peserta dari beberapa universitas yang telah lolos seleksi nasional juga. Dari 5 peserta ini, tiga diantaranya pulang menjadi juara,” katanya.

Albert Gunawan (20), dengan penampilan kaca mata minusnya mengaku sangat berbahagia sekali bisa meraih perunggu di Bulgaria, karena dirinya berhasil bersaing dengan 240 peserta yang berasal dari 90 lebih perguruan tinggi yang berasal dari 38 negara.

“Tidak hanya dari perwakilan perguruan tinggi amerika, tapi juga dari Rusia, Iran, Rumania, dan beberapa negara eropa timur,” katanya.

Diakui oleh anak penjual kain di kota Temanggung ini, selama dua hari para peserta mengerjakan soal-soal yang disediakan oleh pihak panitia. Pada hari pertama, dirinya bersama dengan peserta lainnya mengerjakan enam buah soal matematika dengan diberikan waktu selama lima jam. Hal yang sama juga dilakukan pada hari kedua.

Menurut anak kedua dari pasangan Agus Suwanto dan Lanni Chandrawati ini, soal yang disediakan panitia merupakan soal matematika yang bersifat problem solving. Meski sulit, Albert mengaku memiliki trik-trik khusus untuk bisa mengerjakannya.

“Semua soal-soal ini dikerjakan dengan hati yang tenang. Jadi, memang harus kuat mentalnya, jangan menyerah jika belum menemukan jawaban pada salah satu soal, sebab jika menyerah maka mental kita akan jatuh, sehingga akan mempengaruhi proses pengerjaan soal selanjutnya,” tegasnya.

Sementara Nugroho Seto Saputra dan Andy Hermawan, mengaku di Iran mereka berdua bersaing dengan 80 peserta dari tujuh negara beberapa diantaranya peserta dari Iran, Pakistan,Armenia, Ukraina, dan Siria. Meski medali emas dan perak tetap di dominasi oleh Iran dan Ukraina, namun dua mahasiswa ini mengaku bangga bisa membawa harum nama Indonesia di tingkat internasional.

Nugroho Seto Saputra yang baru menginjak semester dua tahun ini menjelaskan belajar matematika harus dimulai dengan perasaan senang dan suka dengan pelajaran ini. Apalagi menjadikannya sebagai momok dan menakutkan. Hal ini pula yang dilakukannya saat di bangku sekolah, sehingga pernah juara di bidang matematika di Olimpiade Science Nasional.

“Matematika harus dijadikan pembelajaran yang menyenangkan, kita harus suka dengan matematika, dan membayangkan matematika dengan persoalan kehidupan sehari-hari, jangan berpikir angka-angka,” kata alumni SMA 3 Yogyakarta ini. (Humas UGM/Gusti Grehenson)

sumber: www.ugm.ac.id